Ada yang jadi perantau di sini? Saya ... saya, hehehe. Dulu semasa sekolah saya sering iri dengan teman yang ngekos di Makassar alias merantau untuk mengejar studinya. Saya merasa para perantau adalah orang-orang yang keren. Saya sendiri adalah orang Makassar yang lahir dan besar di Makassar. Di tahun 2015 yang lalu---saat itu usia saya 22 tahun adalah momen pertama kali saya merantau karena lulus menjadi seorang ASN di Kabupaten Mamasa. Maka sudah hampir 10 tahun saya resmi menjadi seorang perantau.
Alhamdulillah perjuangan saya di tanah rantau tidak sendiri sebab disini saya ditemani oleh suami dan kedua anak saya yang akhirnya besar di Kabupaten Mamasa. Lalu apakah pemikiran saya tentang perantau masih sekeren saat saya kuliah dulu? hehehe
Menjadi Perantau di Bumi Kondosapata
Merantau Saat Masih Gadis
Di tahun 2015 yang lalu, saat saya pertama kali dinyatakan lulus menjadi seorang ASN, saya masih berstatus gadis yang belum menikah. Momen pertama kali saya menginjakkan kaki di Bumi Kondosapata---Kab Mamasa ditemani oleh bapak saya.
Lalu kedua kalinya saya menginjakkan kaki di temani oleh mama saya, yang sekaligus menjadi akhir saya menjadi orang Makassar, karena sejak saat itu kependudukan saya berubah menjadi warga Kabupaten Mamasa.
Saat pertama kali saya ke Mamasa, saya masih menempati sebuah asrama yang khusus dibuat dan ditempati oleh pegawai pemerintahan. Saat itu saya ditempatkan di daerah yang susah sinyal, hehe. Air juga masih susah karena terkadang air tidak mengalir hingga satu pekan lamanya dan menunggu hingga air hujan turun dan ditampung di penampungan---Masyaa Allah, jadi rindu sama Kak Arni dan Kak Eny, teman sekamar saya di asrama.
Menikah dan Mencari Tempat Tinggal Berdua
Lalu di tahun yang sama---tepatnya di akhir tahun yaitu di bulan Oktober 2015, saya akhirnya menjadi seoarang istri dari seorang lelaki, hahahah. Kami sempat LDRan selama kurang lebih 4 bulanan karena Pak Suami masih harus bekerja di Makassar.
Lalu di awal tahun 2016, Pak Suami memutuskan untuk mengikuti saya ke Mamasa, jadilah saya mencari tempat tinggal dan pilihan kami adalah mencari kosan di Kota Mamasa karena jaringan yang stabil di kota dan akses untuk makanan yang halal juga lebih mudah---sekedar informasi, saya tinggal di Kab Mamasa yang mana penduduk aslinya lebih banyak beragama Kristen. Saat itu kami memutuskan untuk ngekos tepat di belakang masjid besar Kota Mamasa dengan menyewa satu kamar kecil berukuran 3 x 4 meter.
Sayangnya kami hanya ngekos disana selama 1 bulan karena kami mencari tempat tinggal/kosan yang mempunyai dapur dan kamar mandi dalam. Kami lalu pindah kosan tapi masih dalam kawasan Kota Mamasa, kosan kami yang kedua yang lebih luas dengan ruang tamu dan kamar tidur serta lengkap dengan kamar mandi dan dapur dalam. Kami ngekos di tempat ini selama setahun, lalu pindah ke kosan yang lebih dekat dengan tempat kerja kami berdua (Alhamdulillah saat itu Pak Suami sudah mendapatkan tempat mengajar di dekat tempat kerja saya)
Kosan ketiga kami berada di atas rumah orang tua salah satu rekan mengajar Pak Suami. Kebetulan lantai dua rumah orang tuanya kosong dan Alhamdulillahnya di lantai dua itu juga dilengkapi dengan dapur dan kamar mandi. Kosan ketiga saya ini lebih luas dari sebelumnya karena ruang tamu dan ruang keluarganya yang sangat besar, lalu dilengkapi dengan kamar tidur. Di kosan ketiga ini kami juga hanya ngekos selama setahun--dan di kosan inilah saya menjalani masa kehamilan anak pertama saya.
Membeli Rumah
Setelah dua tahun lebih menikmati masa-masa mengekost dengan menjalani 3 kali momen pindah kosan, akhirnya di tahun 2017 sebelum anak pertama kami lahir, saya dan suami memutuskan untuk membeli sebuah rumah kecil yang ukurannya hanya 3 x 6 meter sekitar 2 km dari tempat kerja kami berdua. Rumah kecil dua lantai yang kami rasa cukup untuk menjadi tempat tinggal kami di perantauan. Rumah itu sangat kecil dengan ruang tamu, dapur dan kamar mandi di lantai pertama dan kamar tidur di lantai dua.
Saat pertama kali saya kembali ke Mamasa setelah cuti melahirkan, saat itulah pertama kalinya kami menempati rumah itu. Jadi sekarang kami sudah menempati rumah kami sendiri selama lebih dari 7 tahun. Dan tahun ini, kami sedikit ada rezeki untuk membuat kamar untuk anak-anak kami di lantai 2.
Suka Duka Menjadi Perantau
Oh iya, sekedar informasi Kabupaten Mamasa tempat saya sekarang berada di Provinsi Sulawesi Barat dan berjarak sekitar 350km dari Kota Makassar atau sekitar 8-10 jam perjalanan darat. Satu-satunya jalan untuk kami ke Makassar adalah lewat jalur darat menggunakan mobil, dulu pernah ada pesawat kecil yang punya rute Makassar-Mamasa lewat bandara Sumarorong, tetapi entah sejak tahun berapa bandara sumarorong akhirnya berhenti beroperasi---saya sendiri belum pernah mencoba pulang atau pergi ke Makassar menggunakan pesawat.
Mobil yang sering kami pakai pun adalah mobil penumpang---belum ada bus khusus dengan rute Makassar-Mamasa, beberapa tahun yang lalu ada bus mini (saya pernah naik bus mini ini) dan bus litha tetapi akhirnya juga berhenti beroperasi---saya juga tidak tahu alasan kenapa bus ini berhenti beroperasi.
Lalu apa sih yang saya rasakan selama menjadi perantau? Tentunya ada banyak cerita yang bisa saya bagi, dan kalau dipikir-pikir saya belum pernah bercerita atau menuliskan kisah saya sebagai perantau pada blog ini, hehehe. Saya mulai dari dukanya dulu yah, hehehe ... Supaya tulisan ini nantinya akan ditutup dengan kisah manisnya menjadi perantau di Kabupaten Mamasa #Eaaa
Duka Menjadi Perantau
Rindu Itu Berat
Hahaha ... ini adalah kata-kata legend dari Dilan, tapi memang benar banget bahwa "Rindu itu Berat" Ada banyak moment dimana kami merasa rindu yang luar biasa---terutama saat orang tua sedang sakit yang menjadikan rindu itu semakin berat rasanya. Kadang kala saya bergurau sama Pak Suami kalau saya mau sekali punya pintu kemana sajanya Doraemon jadi kalau rindu itu datang maka akan selalu terobati dengan pintu kemana saja karena sekali buka kita langsung bisa sampai di rumah orang tua kami.
Adaptasi yang Cukup Lama
Saya yang notabene tidak pernah merantau sebelumnya dibuat agak sedikit kesulitan dengan adaptasi ini, apalagi saya merantau di sebuah Kabupaten dengan suhu yang dingin karena berada di daerah pegunungan. Orang Makassar yang dibuat menggigil dengan suhu dingin Mamasa, hehehe. Saya ingat kalau pertama kali saya kesini hanya membawa sarung yang tipis dan hasilnya saya tidak bisa tidur karena kedinginan, hahaha
Belum lagi pertama kali saya kesini langsung ditempatkan di daerah yang susah sinyal yang HP itu harus digantung agar bisa mendapatkan sinyal. hahaha. Orang Makassar dengan segala hal ke-kotaannya yang langsung dikagetkan dengan kondisi desa yang sangat terpencil, belum lagi masalah air yang sudah saya ceritakan di atas. Terus juga masalah waktu sholat karena tidak ada masjid di sekitar tempat tinggal saya saat itu. Saya ingat kalau saya sholat hanya dari patokan matahari karena saat itu saya belum punya HP yang bisa mendownload aplikasi adzan, hehehe.
Untuk adaptasi dengan lingkungan sosial, saya tidak terlalu merasa kewalahan karena Alhamdulillah saya mempunyai teman asrama--Kak Arni dan Kak Eny yang sangat luar biasa membantu saya membaur dengan lingkungan kerja saya saat itu. Terima kasih kakakku sayang yang saat ini sudah tidak bersama dengan saya. kak Eny sudah kembali ke Maros dan Kak Arni yang masih stay di tempat kerja yang sama, sayanya yang mutasi, heheheh.
Ongkos Pulang Kampung yang Berat
Masalah utama para perantau yah ini ....
"Ya Allah ... Tolong lancarkan rezeki para perantau"
Itu adalah doa yang selalu saya lafadzkan di setiap perjalanan saya baik saat dalam perjalanan pulang ke Makassar ataupun saat balik ke Mamasa.
Kenapa rezeki para perantau harus dilancarkan? Karena rindu kami berat di "ongkos", heheh. Ongkos sekarang ini sekali jalan dari Mamasa-Makassar atau sebaliknya adalah Rp.250.000/orang dewasa, karena kami ada 2 orang jadi totalnya Rp.500.000 sekali jalan jadi kalau kami pulang pergi Mamasa-Makassar maka totalnya adalah Rp.1.000.000---ongkos ini belum termasuk uang makan dan oleh-oleh kalau kami beli.
Kami sendiri pulang paling sering sampai 7 sampai 8 kali dalam setahun atau anggaplah hitungan pasnya Rp.8.000.000 setahun---luar biasa untuk ukuran kami dengan gaji UMR ini dan ini belum termasuk pengeluaran tak terduga yang biasanya kami keluarkan saat di Makassar. Terkadang di awal tahun kami sudah berkomitmen hanya akan pulang 3 kali dalam setahun (Lebaran Idul Fitri, Libur Semester Genap dan Libur Akhir Tahun Bulan 12), tetapi qadarallah terkadang ada-ada saja yang akhirnya membuat kami harus pulang lebih sering dari rencana kami. Biasanya kepulangan yang tidak bisa kami tolak kalau berhubungan dengan orang tua saat ada yang sakit atau semisal kepulangan kami sepekan yang lalu karena pernikahan keponakan kami.
Tahun ini misalnya kami sudah pulang 6 kali dan akan berakhir jadi 7 kali dalam setahun di bulan Desember nanti. Kadang kami berpikir bahwa uang ongkos pulang kami itu bisa saja kami tabung kalau saja kami bisa mengurangi sedikit intensitas kepulangan kami ke Makassar, sayangnya sekali lagi kepulangan kami kadang kala memang sesuatu yang harus kami lakukan.
Terkadang dengan bergurau saya dan suami mengatakan bahwa kami menabung hanya untuk "Ongkos Pulang ke Makassar" sebab saat di Makassar maka tabungan kami akan kembali ke angka "0", hahaha ... Masyaa Allah.
Suka Menjadi Perantau
Dan tentu saja, selain duka akan ada suka dibalik kata "Merantau" dan saya rasa sukanya mungkin jauh lebih banyak ketimbang dukanya, karena sekali lagi ada banyak hal yang harus disyukuri tentunya dan saya yakin dimanapun kita berada selama itu masih di bumi Allah semua akan baik-baik saja, hehehe.
Menjadi Lebih Mandiri
Sebenarnya saya tidak terlalu merasakan kesendirian di perantauan karena sejak pertama saya datang ke bumi kondosapata saya sudah mendapatkan teman yang sangat luar biasa, lalu tidak lama kemudian saya ditemani sosok suami yang juga sangat bisa diandalkan.
Hanya saja momen yang paling membuat saya merasa sangat getir menjadi perantau adalah momen saat saya menjadi seorang ibu yang juga sekaligus menjadi seorang wanita karir. Ada masa dimana saya amat sangat merasa bersalah membawa anak saya ketempat kerja---kerjaan tidak beres karena sekaligus disambi dengan mengurus anak, saya sudah berkali-kali ditegur atasan karena hal tersebut. Saya juga sering merasa tidak becus sebagai seorang ibu rumah tangga yang rumahnya sangat berantaan di momen tersebut.
Saat itu rasanya saya ingin sekali mama atau siapapun keluarga saya menemani saya di perantauan untuk sekedar menjaga anak saya disaat saya pergi bekerja karena saya tidak terlalu mengenal orang lain di lingkungan saya yang bisa dipercaya untuk menjaga anak. Ada satu momen dimana saya sampai harus mandi bersama anak di pagi hari yang dingin karena anak saya sama sekali tidak mau lepas dari gendongan, hiks.
Punya Kenalan Teman yang Lebih Banyak
Enaknya jadi perantau juga karena saya menjadi punya lebih banyak teman. Di setiap masa hidup kita memang akan sering bertemu dengan orang baru, di setiap fase di setiap tempat yang kita datangi atau di setiap apapun yang "baru" kita lakukan.
Sama halnya ketika saya pertama kali datang ke tanah rantau Mamasa ini, awalnya saya merasa agak takut karena stigma bahwa saya akan menjadi minoritas di tanah rantau ini, tapi Alhamdulillah perasaan takut itu akhirnya terhempas saat pertama kali saya menginjakkan kaki di tempat ini, ternyata orang-orangnya sangat ramah dan sangat bersahabat. Saya banyak menemukan teman baru di tanah rantau ini, teman-teman yang tadinya saya pikir tidak akan pernah bisa membersamai mereka tetapi sekali lagi Alhamdulillah semua itu terhempas saat melihat kehangatan yang mereka tunjukkan.
Pengalaman yang Tak Terlupakan
Ada banyak momen-momen yang tidak terlupakan selama hampir 10 tahun menjadi seorang perantau. Momen pertama adalah kali pertama saya melakukan perjalanan ke tanah rantau ini di tahun 2015 yang lalu---saat itu jalanan menuju Kab Mamasa belum seluas dan sebagus sekarang ini, karena jalanannya masih sangat sempit bahkan ada satu daerah dimana kita akan menjumpai satu batu besar di tengah jalan, hehehe. Belum lagi jalanannya yang sebagian masih berlumpur seperti sawah yang akan ditanami, hehehe.
Jalanan yang masih rusak parah dan dikelilingi oleh hutan dan jurang yang dalam---harap maklum Kab Mamasa adalah kabupaten di daerah pegunungan. Dulu sangking rusak dan parahnya jalanan, waktu tempuh dari Kab Polewali Mandar ke Kab Mamasa saja memakan waktu sampai 6 jam.
Alhamdulillah sejak beberapa tahun yang lalu---saya lupa tepatnya, hehehe, jalanan sudah semakin membaik dan terus diperbaiki sehingga sekarang jarak tempuh dari Kab Polewali ke Kab Mamasa hanya ditempuh dengan waktu 2,5 jam saja.
Lalu momen tak terlupakan selanjutnya adalah momen-momen di asrama Minake tempat kerja saya pertama kali. Momen mencari jaringan, momen menadah air hujan, momen main leng (Permainan kartu) untuk memecah kebosanan di asrama, momen belajar merajut---saya jadi pintar merajut karena pernah belajar di asrama, momen masak bareng, momen curhat-curhatan sebelum tidur, dll. Duh kangen rasanya dengan momen tersebut. Kangen sama suasana di asrama Minake---saat ini asrama tersebut sudah kosong dan ditinggalkan.
Pengalaman yang tak terlupakan lainnya adalah saat kami sekeluarga mengeksplor kabupaten Mamasa dengan berkemah, hehehe. Jadi dari setahun yang lalu, kami sekeluarga mulai untuk melakukan eksplorasi ke beberapa tempat di Kabupaten Mamasa yang bisa kami kunjungi dengan berkemah---ada banyak spot yang sangat istimewah di Bumi Kondosapata ini yang bisa kita eksplor karena Kab Mamasa adalah daerah pegunungan, sayangnya beberapa bulan ini kami tidak pernah berkemah lagi karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.
Penutup
Hampir 10 tahun menjadi perantau di Mamasa, rasanya waktu begitu cepat berlalu. Banyak suka dan duka yang telah saya alami. Dari seorang gadis kota yang manja, saya belajar menjadi seorang istri, ibu, dan pekerja yang tangguh. Kehidupan di Mamasa telah mengajarkan saya arti kesabaran, keikhlasan, dan pentingnya bersyukur. Meskipun rindu kampung halaman selalu ada, namun saya sangat bersyukur atas semua karunia yang telah Allah berikan. Semoga Allah selalu melindungi dan meridhoi langkah saya sekeluarga, Aamiin.
Post a Comment