8 Tahun Bersama: Sebuah Refleksi

Bismillahirrahmanirrahim

8 tahun bersama

2 Oktober 2015--8 tahun yang lalu Arsy bergetar ketika seorang lelaki menggenggam erat tangan Bapak dan mengucapkan sebuah ijab yang begitu sakral yang otomatis membuat lelaki ini memegang tanggung jawab baru atas diri ini. Saya masih ingat betul betapa di setengah tahun terakhir 2015 itu saya dibuat galau oleh rencana pernikahan yang saya lalui.

Menikah karena proses perjodohan memang "sesuatu", tapi orang tua saya sepenuhnya memberikan pilihan kepada saya apapun keputusan yang saya ambil. Sayangnya kebimbangan datang, lalu jauhnya kenyataan dari ekspektasi saya selama ini tentang calon jodoh yang ingin saya jadikan teman hidup tampaknya menampar saya dengan keras.

Tapi jodoh, takdir, dan kematian memang telah dituliskan di Lauhul Mahfush jauh sebelum kita dilahirkan, bagaimanapun kita menolak, jika Allah berkata dialah jodoh kita, maka ia akan datang dengan cara yang tidak pernah kita duga sebelumnya, suka atau tidak, siap atau tidak.

Bersatunya Dua Tipe Kepribadian yang Berbeda

Kalian tahu tipe kepribadian MBTI? Saya dan suami punya dua kepribadian yang sama sekali berbeda. Saya adalah tipe INFJ yang introvert, mengandalkan perasaan dan terstruktur, sedangkan suami adalah tipe kepribadian ESFP yang ekstrovert, spontan dan mudah bosan.

Kami adalah dua tipe orang yang sangat berbeda, maka tak heran jika selera film, selera olahraga dan hal lainnya kami sangat berbeda. Satu hal yang menjadi kelemahan hingga sekarang karena kami tidak memiliki sesuatu yang bisa kita bicarakan dengan antusias satu sama lain--sebagai contoh saya suka anime, dia malah tidak tahu anime itu apa, wkwkwkw. Saya yang suka membicarakan hal-hal secara serius, dia malah menganggap hal itu membosankan.

Tiga Bulan Pertama

Tiga bulan pertama pernikahan, rasanya seperti neraka, hahaha ... Kami baru menyadari betapa kami sangat berbeda satu sama lain.--saya yang introvert dan dia yang ekstrovert, dan tidak adanya hobi atau apapun itu yang menjadi ketertarikan kita yang sama. Dia suka apa, saya suka apa--Pokoknya kami sangat bertolak belakang. Dia yang rock n roll di awal pernikahan dan saya yang sangat kalem, hahahah.

Maka di tiga bulan itu, kami rasanya ingin menyerah. Hampir setiap hari kami ribut dengan pertengkaran yang hebat--pertengkaran yang bahkan menyertakan kedua keluarga kami. Tidak adanya ilmu sebelum memasuki pernikahan menjadi penyebab utama keributan. Saya belum punya cukup ilmu untuk menjadi istri qona'ah dan suami yang belum punya cukup ilmu untuk memimpin saya yang memang sedikit keras kepala.

Lalu setelah tiga bulan itu kami LDM--Long Distance Marriage, dan saat itulah kami masing-masing mengintrospeksi diri, dan anehnya rasa saling merindukan sudah muncul di hati kami masing-masing. Maka saat itu kami memutuskan untuk mulai sedikit demi sedikit saling membuka diri. Kami membuat surat yang menceritakan kemauan kami termasuk kesukaan dan hal yang tidak kami sukai dari masing-masing diri kami. Setelah dua bulan LDM, suami memutuskan untuk mengikuti saya untuk merantau ke Kabupaten Mamasa, dan disinilah kisah perjalanan rumah tangga kami dimulai.

Kehadiran Al Fatih dan Al Fayyad

Di ulang tahun pertama pernikahan kami, saya mendapatkan kabar kembira dengan kehamilan pertama--jadi kami tidak langsung dianugerahi kehamilan di awal pernikahan, kami harus menunggu selama setahun untuk bisa hamil. Kehamilan yang tentunya sangat membahagiakan bagi keluarga kami, ada banyak drama di kehamilan tersebut, tapi kami jadikan itu sebagai pembelajaran. Pertengkaran-pertengkaran masih terus berlanjut, tapi rasanya itu hanya sebatas pertengkaran biasa antar suami-istri. Siapa disini yang tidak pernah bertengkar dengan suami atau istrinya? Saya rasa tidak ada, hehehe.

Lalu di usia Al Fatih yang baru 11 bulan, kami diberikan amanah kembali dengan kehamilan kedua, jadi jarak antara Al Fatih dan Al Fayyad hanyalah 1 tahun 8 bulan. Saat itu saya pikir saya mungkin tidak akan sanggup melaksanakan peran sebagai ibu dari dua bocah, yang juga sekaligus harus bekerja di ranah publik. Rupanya kehadiran anak kedua ini membuka mata saya, bahwa Allah memang memberikan saya jodoh yang terbaik, karena Alhamdulillah, suami sangat berjasa dalam membantu saya di berbagai peran.

Selama hamil dan melahirkan, dialah yang mengambil banyak peran domestik--sampai sekarang saya masih dimanjakan akan hal ini, heheheh. Kehadiran dua bocah dalam keluarga kami akhirnya menjadi penguat kami agar bisa menjadi orang tua yang lebih baik lagi. 

Komitmen Untuk Terus Memperbaiki Diri

Kini diusia 8 tahun kami bersama, pertengkaran kami sudah sangat jauh berkurang. Kami sudah mulai saling memahami satu sama lain--walau tentunya masih ada hal yang tidak sejalan, tapi kami berusaha dan berkomitmen untuk terus memperbaiki diri. Suami mulai memahami diri saya yang yah ... begitulah, hahaha. Dan saya juga mulai memahami suami yang memang tidak bisa diam, hahahah. Belakangan ini kami menjadikan wisata bersama sebagai ajang untuk membonding keluarga kami. Maka tidak heran jika belakangan ini kami menjadi sering ke tempat wisata.

Harapan kami tentunya, bisa membangun sebuah keluarga yang tidak hanya berorientasi pada dunia tapi juga menjadi keluarga yang kelak bisa kembali berkumpul di Jannah Allah. Menjadi orang tua terbaik untuk anak-anak kami, dan menjadi teladan yang sempurna untuk mereka--ditengah banyaknya kekurangan kami sebagai orang tua.

Terus belajar dan terus memperbaiki diri adalah tugas utama kami sekarang--baik sebagai seorang suami/istri ataupun sebagai orang tua. Dan doa tentunya terus ter-iring agar Allah senantiasa membimbimg kami dalam semua peran yang kami lakukan, Aamiin.

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Komentar kalian sangat berarti untuk saya dan blog ini 💕